Selasa, 07 Februari 2012

Tak Punya Traktor, Petani Rela Jadi ‘Sapi’

Bantul-(06/02/2012).Meski keringat deras bercucuran, Sahno, 45, warga Dusun Salam, Temuwuh, Dlingo, masih bisa tertawa lepas ketika sejumlah rekannya menirukan suara sapi, lecutan cemeti, dan seraya berteriak, “ayo, lebih cepat jalannya”.
Bersama tiga rekannya, Senin (6/2) siang, ayah dua anak itu tertatih-tatih memanggul bajak kayu mengitari sepetak sawah milik tetangganya, Margito, 60. Di bagian belakang bajak yang ditarik empat orang itu, Maryono, 58, berperan sebagai pengendali.
Menyaksikan pengoperasian bajak yang ditarik tenaga manusia mungkin dapat membuat warga di luar Desa Temuwuh terperangah tak percaya. “Tetapi kalau warga di sini sudah tidak heran lagi melihat kami berempat menarik bajak layaknya sapi,” kata Sahno kepada Harian Jogja, Senin (6/2).
Setelah azan zuhur berkumandang, Sahno beserta empat rekannya memutuskan beristirahat sejenak di gubug tepi sawah. Sembari menyeruput segelas teh dia menuturkan, tradisi menarik bajak dengan tenaga manusia sudah menjadi tradisi di Desa Temuwuh sejak puluhan tahun silam.
“Mau tidak mau, warisan budaya nenek moyang ini terus dipertahankan sampai sekarang. Habis, mau bagaimana lagi?” timpal Maryono. Pasalnya, sejak jaman kemerdekaan hingga 2012, belum ada satu pun anggota kelompok tani di dusun Salam yang punya sapi atau kerbau penarik bajak.
Ponijan, 40, yang juga berprofesi sebagai penarik bajak menambahkan, setiap musim tanam pesanan membajak sawah terus berdatangan. Dalam satu hari, tim penarik bajak yang terdiri dari sepuluh orang bisa membajak empat petak sawah (sekitar 650 meter persegi).
“Bajaknya cuma satu. Tetapi satu kelompok ini dibagi jadi dua tim. Satu tim ada lima orang. Empat orang jadi sapi, satu lagi yang jadi pengendali,” terang Ponijan seraya terbahak. Meski tenaga dan waktunya terkuras, para pembajak sawah itu tidak pernah menarik biaya.
Sebab, sebagian besar pengguna jasa mereka adalah rekan sesama petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Ngudi Makmur, Dusun Salam. Adapun jika pemesan jasa mereka dari petani di luar klomtan tersebut, ada iuran ala kadarnya untuk mengisi kas. “Paling sekitar Rp10.000,” imbuh Wakidi, 47.
Bertepatan dengan kunjungan dua anggota Komisi B DPRD Bantul, Amir Syarifudin dan Ahmad Badawi, para petani sekaligus penarik bajak itu langsung mengutarakan keluh kesahnya.
“Kami minta ada perhatian dari pemerintah. Masak ya tega melihat petani di sini harus menyaru jadi sapi lantaran tidak punya traktor,” tandas Mulyono, Ketua Klomtan Ngudi Makmur.
Menanggapi hal itu, Amir Syarifudin berjanji akan segera menyampaikan usulan para petani itu ke dinas Dinas Pertanian dan Kehutanan (Dispertahut) Bantul dan instansi lain yang terkait. “Meski tradisi semacam ini bisa terus dilestarikan, tetapi tetap akan kami upayakan agar petani di sini lekas mendapat bantuan traktor,” tegas Amir.(WARTAWAN HARIAN JOGJA/Dinda Leo Listy)

Tidak ada komentar: